Rasa dan kualitas Kakao Berau tidak perlu diragukan lagi. Kakao Berau juga pernah digunakan sebagai bahan untuk membuat kopi dalam kompetisi internasional.
Dengan kualitasnya tersebut, Kakao kini dinilai dapat menjadi penopang ekonomi pasca tambang yang terus dikembangkan dengan melalui dukungan dari berbagai pihak seperti, PT Berau Coal.
PT Berau Coal melalui Yayasan Dharma Bhakti Berau Coal menunjukan keseriusannya dalam mengembangkan Kakao Berau, menggandeng Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Indonesia menyelenggarakan program Detasering atau Sekolah Lapang Budidaya Kakao sesuai Good Agriculture Practice (GAP) pada petani-petani Kakao di Berau, Rabu (3/7) lalu.
Kegiatan yang dilaksanakan selama 2 hari itu diikuti oleh 46 petani, dengan jumlah kehadiran pada hari pertama sebanyak 15 petani dan hari kedua sebanyak 31 petani. Para petani ini berasal dari daerah-daerah dampingan PT Berau Coal, seperti Bena Baru, Long Lanuk, Merasa, Samburakat, Sembakungan, Suaran, Rantau Panjang, dan beberapa daerah lainnya.
Kegiatan dimulai dengan pembekalan materi, kemudian para petani diberi kesempatan untuk praktik langsung ke lapangan didampingi oleh tim Puslitkoka dari Jember. Praktik yang dilakukan mulai dari penanaman, pemeliharaan, hingga penanganan kakao.
“Harapannya sesuai program kami, petani-petani kita bisa jadi lebih semangat untuk memilih dan merawat komoditas kakao dan terus secara berkepanjangan bermitra dengan Berau Cocoa,” ucap M. Issaef Sabana, selaku Section Head Cocoa Trading Berau Cocoa.
Social Enterprise Coordinator PT Berau Coal, Muhammad Masyhuri menjelaskan program ini bertujuan untuk meningkatkan skill petani dalam mengelola kebun kakao sesuai dengan Good Agriculture Practice (GAP).
“Program detasering atau sekolah lapang ini bertujuan untuk memberikan skill kompetensi kepada petani di seluruh areal dampingan PT Berau Coal, baik di Sambarata, Lati, atau Binungan, dan ini juga bekerjasama dengan Puslitkoka agar petani bisa mengelola perkebunan kakao dengan baik sesuai dengan ketentuan Good Agriculture Practice (GAP) yang telah ditetapkan oleh pemerintah,” jelasnya.
Program Detasering atau Sekolah Lapang Budidaya Kakao sesuai Good Agriculture Practice (GAP), disambut antusias oleh para petani karena dinilai sangat bermanfaat untuk mereka dalam mengelola kebuk kakao.
“Kami sangat antusias sekali mengikuti, karena ini potensi yang sangat menjanjikan. Mudah-mudahan teman-teman yang mempunyai lahan bisa mengoptimalkan lahannya untuk penanaman kakao karena kita dibantu mulai dari bibit, penanganan, dan pendampingan sampai panen,” tutur Hamka, petani kakao asal Samburakat.
Sejalan dengan itu, salah satu petani pemula asal Long Lanuk, Musa berterima kasih atas pendampingan yang diberikan oleh perusahaan.
“Kami selaku petani pemula sangat bersyukur dan berterima kasih dimana kami diberi ilmu pengetahuan, mulai menanam sampai pemeliharaan pemangkasan,” tutupnya
Sumber: haloberau.co.id