
Di balik setiap helai benang tenun yang dihasilkan dari rumah tenun di Kampung Tumbit Melayu, Kecamatan Teluk Bayur, tersimpan kisah perjuangan, cinta budaya, dan semangat perempuan tangguh bernama Sonya Da Silva.
Perempuan asal Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini menjadi pionir lahirnya Tenun Berau berlabel Mamabe, yang kini tak hanya dikenal di tingkat lokal, tapi juga telah menembus panggung internasional.
Mama Sonya, begitu ia akrab disapa, merantau ke Kabupaten Berau sejak 2006 bersama sang suami. Berbekal keterampilan menenun khas kampung halamannya, ia perlahan mulai mengembangkan usaha tenun di tanah rantau.
Titik baliknya terjadi pada 2016, ketika Ketua Dekranasda Berau kala itu, Sri Juniarsih Mas yang kini menjabat sebagai Bupati Berau menggagas agar Berau memiliki tenun khas daerah.
“Ibu Sri minta kami buat tenun yang motif dan warnanya khas Berau. Dari situlah Mamabe lahir,” ungkapnya.
Tak butuh waktu lama, ia langsung merancang motif perdana “Alam Banua” dan meluncurkan secara resmi tenun khas Berau pertama. Upaya ini mendapat dukungan penuh dari Dekranasda Berau dan CSR Berau Coal, yang pada 2018 memberikan bantuan rumah tenun sebagai pusat produksi dan pelatihan.
Mamabe kini memiliki 10 motif tenun, terdiri dari tujuh desain orisinal dan tiga desain milik Pemerintah Daerah Berau. Empat di antaranya telah mengantongi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), yakni motif Alam Banua, Penyu Saparadianta, Tukik Penyu Kulanta, dan Karitan Tutul.
“Motif lain sedang proses pengajuan HAKI. Semua ini bisa terjadi karena dukungan penuh dari Diskoperindag dan Dekranasda Berau,” ujarnya.
Pemerintah daerah juga memfasilitasi proses legalitas merek Mamabe dan memberikan pelatihan intensif untuk meningkatkan kapasitas produksi.
Kelompok tenun Mamabe memproduksi dua jenis tenun: gedogan dan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Mereka kini memiliki satu alat tenun gedogan dan tiga unit ATBM. Sepuluh penenun aktif, termasuk generasi muda berusia 18 tahun, menunjukkan bahwa keterampilan ini telah diwariskan ke generasi selanjutnya.
“Jadi bukan hanya emak-emak yang menenun, sekarang remaja juga ikut. Sudah ada kader-kader baru,” tuturnya.
Proses menenun memakan waktu yang tidak singkat—bisa memakan waktu hingga sebulan, tergantung jenis dan motif. Bahan benang didatangkan dari Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya. Dalam sebulan, jenis tenun ATBM bisa menghasilkan hingga 24 lembar tenun.
Harga produk pun bervariasi: syal tenun dijual mulai Rp60 ribu, sementara kain tenun dibanderol sekitar Rp500 ribu. Mamabe juga menerima pesanan seragam sekolah dan kantor, bekerja sama dengan penjahit lokal. Bahkan, Diskoperindag Berau telah memesan 82 potong seragam berbahan tenun Mamabe.
Popularitas tenun Berau Mamabe kian meluas setelah tampil dalam berbagai event fashion dan pameran nasional. Puncaknya, produk ini digunakan oleh perwakilan Indonesia dalam ajang Miss Asia Awards 2018 di Shanghai, China.
“Itu pengalaman sangat berkesan. Awalnya ikut lomba fashion Kartini Week di Jakarta, lalu diminta ikut Miss Asia Awards. Tenun kita tampil di panggung internasional,” jelasnya.
Promosi produk dilakukan melalui berbagai kanal, seperti media sosial (Instagram, Facebook, WhatsApp) serta melalui partisipasi dalam pameran yang digelar instansi pemerintah dan swasta. Produk juga dipasarkan melalui galeri rumah tenun Mamabe dan outlet Dekranasda Berau.
Meski telah melangkah jauh, Mama Sonya masih menyimpan satu harapan besar yakni mendirikan galeri tenun di pusat Kota Tanjung Redeb, agar wisatawan bisa dengan mudah membeli tenun khas Berau sebagai oleh-oleh.
“Kalau ada galeri, wisatawan yang datang bisa langsung beli atau lihat proses menenun. Sekarang terkendala pengiriman karena jarak dan cuaca,” harapnya.
Lebih dari sekadar usaha, Mamabe telah menjadi penggerak ekonomi kreatif yang memberdayakan perempuan, menciptakan lapangan kerja, dan menjaga warisan budaya.
“Berkat tenun ini, emak-emak di sini bisa bantu ekonomi keluarga. Dan kami bangga bisa bawa nama Berau sampai ke dunia internasional,” kuncinya.
Sumber: https://portalberau.online/