
Di sebuah kampung kecil di Kecamatan Sambaliung, Berau, seorang lelaki perantauan Sulawesi berhasil membudidayakan Kakao.
Saenuddin namanya. Sejak 2015, ia menetap di Kampung Rantau Panjang dan mengubah lahan setengah hektare miliknya, menjadi sumber penghidupan.
“Dulu saya bikin arang, terus beli lahan ini. Awalnya tanam sayur tapi tiap tiga empat bulan harus mulai lagi. Lihat kakao bisa sekali tanam, tinggal dirawat, jadi saya coba,” katanya saat ditemui di kebun miliknya belum lama ini.
Saenuddin mulai menanam kakao sejak 2018. Tiga tahun setelah ia menetap di kampung Rantau Panjang.
Ia tak mengikuti pelatihan formal. Ilmu bertaninya berasal dari pengalaman pribadi saat tinggal di Sulawesi Tenggara.
Kemudian dikombinasikan dengan ketekunan mempelajari sendiri teknik-teknik sambung dan perawatan.
Kini, dari lahan seluas sekitar setengah hektare itu, ia bisa meraup penghasilan sekita Rp 10 juta per bulan.
Harga jualnya di pasaran mencapai sekitar Rp 31.500 per kilogram untuk biji kakao basah. Sedangkan yang kering Rp104 ribu. Penghasilan yang ia terima itu belum termasuk hasil dari penjualan bibit kakao yang diproduksi sendiri.
“Kalau yang kering sekarang Rp 104 ribu. Dulu sempat Rp 110 ribu. Tapi saya lebih senang jual yang basah, karena lebih simpel,” jelasnya.
Saenuddin tak sembarangan menjual bibit. Ia memilih sendiri entres, bagian tanaman berupa batang atau cabang, yang digunakan sebagai bahan perbanyakan tanaman melalui okulasi atau sambung.
Entres itu dipilih dari pohon induk yang sehat, lalu menyambung dan merawatnya hingga siap tanam.
“Kalau orang mau beli, saya suruh lihat dulu pohonnya. Biar tahu asal bibitnya bagus. Saya juga kasih tahu caranya supaya mereka bisa rawat sendiri,” ujarnya.
Satu bibit dijual seharga Rp 20 ribu. Dalam satu musim, permintaan bisa mencapai ribuan.
Pembelinya tak hanya datang dari sekitar Berau, tapi juga dari Samarinda hingga Kalimantan Utara.
Baginya, bertani kakao bukan hanya soal penghasilan, tapi tentang ketekunan.
Ia percaya bahwa kakao adalah komoditas yang adil bisa dikelola siapa pun tanpa perlu tenaga besar atau alat berat.
“Kakao bisa dikerjakan siapa saja. Orang tua, anak-anak bisa bantu panen. Yang penting dirawat. Kalau serius, dua hektare kakao bisa kalahkan empat hektare sawit,” tegasnya.
Ketekunan Saenuddin telah mengubah hidupnya. Dari sekadar mencoba, ia kini menjadi panutan bagi warga sekitar yang ingin menekuni usaha serupa.
Di tengah geliat industri tambang yang sewaktu-waktu bisa meredup, Saenuddin melihat harapan dari tanah yang ia rawat sendiri.
Baginya, kakao bukan sekadar tanaman, tapi jalan hidup yang bisa diperbarui dan diwariskan.
“Saya harap masyarakat mau ikut menanam. Kakao ini menjanjikan, asal dirawat. Setengah hektare saja bisa cukup, kalau dikelola betul-betul.
“Tambang itu kan bisa habis, tapi kakao ini bisa terus diperbarui,” pungkasnya.
Sumber: https://nomorsatukaltim.disway.id/